Jumat, 08 Mei 2015

BAKSO CINTA (Sebuah Cerpen)

    Awalnya, enggan sekali menuruti adikku yang satu ini. Gadis mahasiswi yang centilnya minta ampun. Ia bersikeras mendandaniku dengan gayanya. Tentu saja rasanya tidak nyaman. Aku yang biasanya tampil seadanya, harus berdandan trendi a la anak muda. Kuingatkan ia dengan kerlingan mataku, bahwa usiaku sudah hampir kepala tiga, sudah tidak pantas bergaya muda. Dengan kerlingan pula ia menanggapi protesku, kata siapa? Ujarnya. Jadilah aku seperti ini sekarang. Dengan jeans yang ketat di bagian mata kaki, mereka menyebutnya pensil, dan kaus longgar, jilbab model anak sekarang yang di lipat di kepala kesana kemari, memang membuat pantulan diriku terlihat beda di cermin. Aku tersenyum. Adikku tersenyum. Sepertinya, dengan aku yang seperti ini, hanya aku yang tahu berapa usiaku. Ah, alangkah pakaian dan dandanan mempengaruhi kepercayaan diri seseorang. Setelah dandan secantik itu, kupikir aku akan di ajak jalan-jalan ke mall. Adikku sendiri dandanannya tak kalah oke. Pastinya, tetap terlihat lebih muda dariku. Ternyata, aku hanya diajak makan bakso. Malas banget kan? Sudah dandan cantik, hanya untuk makan bakso di seberang jalan besar? Ogah.

    Setelah dirayu lama, akhirnya kau luluh juga. Meski lesu, kutemani ia makan bakso di tempat biasa. Bakso tenis yang super enak dan menyenangkan. Biasanya, aku hanya beli bungkus kumakan di rumah. Baru kali ini aku menikmatinya di tempatnya. Adikku masih mencandaiku karena aku masih ngambek dengan dandanan seribet ini. Ia bilang, tidak ada salahnya tampil cantik, siapa tahu ketemu jodoh di warung bakso ini. Aku hanya mendengus kesal, menyadari bahwa mungkin ia benar.

    Sedang asyik makan, datang pembeli naik sepeda motor, seorang lelaki, membonceng anak kecil di depan. Entah mengapa, mataku tak bisa lepas dari orang itu. Wajahnya terlihat bersinar di mataku. Lelaki itu tidak tampan, wajahnya oriental, dengan cambang tipis umur sehari, berupa bintik kecil kehitaman di sekitar dagu dan pipi. Anak kecil itu juga berwajah oriental. Ia menengok ke arahku. Meski aku tahu ia tidak langsung melihatku, namun aku malu karena dari tadi terus memperhatikannya. Lelaki itu mengenakan kaos jersey warna biru. Celana kain hitam, yang hanya dipakai para pekerja kantoran di daerahku, karena lelaki biasa umumnya mengenakan jeans, celana pendek, atau sarung. Bahasanya jawa halus. Wajah oriental berbahasa jawa halus? Oh, alangkah sempurna. Bahkan kepada anak kecil itu, bahasanya tetap bahasa jawa halus. Aku terkesima.

    Adikku menyolek sikuku. Lihat apa? Tanyanya. Aku hanya tersenyum, memalingkan wajah dari lelaki itu. Tapi, tak bisa lama-lama. Kepalaku lagi-lagi menengok ke arahnya. Ia berdiri di luar, menyuapi anak kecil tadi yang berlari-larian, berceloteh sambil makan, tentang burung kutilang yang bergantungan di kandang, di sisi kiri dan kanan warung. Lagi-lagi, aku terkesima. Caranya menyuapi, caranya tersenyum ada anak kecil itu, entah mengapa membuat hatiku berdesir. Sepertinya, aku jatuh cinta, pada pandangan pertama. Aku malu.
Aku tidak mengenal lelaki itu. Pun baru sekali itu aku melihatnya. Tapi wajahnya, tak bisa kulepas dari pikiranku. Sampai di rumah, di tempat kerja, hanya lelaki itu yang ada di benakku. Sepertinya, aku benar-benar jatuh cinta. Kuingat kembali, mungkin ia benar pekerja kantoran. Kemarin hari minggu, siang hari yang santai untuk bercengkerama sambil jajan bakso. Nggak nyambung ya? Biarlah, yang jelas hari minggu yang akan datang, aku akan dandan cantik lagi, dan makan bakso di sana lagi. Siapa tahu, ada lelaki itu lagi.
Aku sudah tak sabar menunggu hari ini. Gemas karena pagi tak juga beranjak siang hari. Bakso itu baru buka jam sepuluh. Minggu kemarin aku makan di sana jam dua siang. Duh, lama sekali sih menunggu jam dua siang.

    Setelah menunggu lama, aku malah ketiduran. Gagal sudah rencana bertemu lelaki impian. Seharian aku kesal. Segala yang kukerjakan tak ada yang benar. Seminggu kemudian, wajahnya menghiasi tidurku tiap malam, memupuk cinta yang semakin lama semakin membesar, namun hanya bisa kuendam.
Aku bukan tipe gadis genit. Lagi pula usiaku sudah tak layak bergenit-genit. Kuputuskan, tiap hari setelah dhuhur aku akan beli bakso. Dibungkus, hanya sekedar menunggu kemungkinan bertemu dengan lelaki itu lagi. Dulu ia tidak mengenakan helm, berarti kemungkinan ia hanya berasal dari daerah sekitar sini, entah bagian desa sebelah mana.

    Senin, Selasa, Rabu, aku beli bakso dengan agak sia-sia. Tak apa, perjuangan tak ada batasnya, batinku. Kamis, lagi-lagi aku menelan kecewa. Jum’at, sungguh hari yang tak kusangka-sangka. Lelaki itu datang lagi. Kali ini ia sendiri. Benar dugaanku. Ia mengenakan seragam, sepertinya pegawai pemerintahan. Di lengan seragamnya banyak tempelan. Jaket kulitnya sungguh membuat ia semakin rupawan. Kupikir ia akan berlama-lama, ternyata sama denganku, ia hanya membeli untuk dibungkus. Tiga bungkus, kudengar pesanannya. Oh, dia baik hati sekali, bawa oleh-oleh segala, pikirku. Ia berdiri memesan, dekat sekali denganku. Aroma parfumnya, campuran manis dan segar, plus keringat yang agak asam, menghibur hidungku yang rindu. Aku deg-degan berdiri sedekat ini. Ia mengobrol santai dengan mas-mas penjual bakso. Berarti, penjualnya kenal dengan lelaki itu. Tapi, bahkan besok dan besoknya lagi, aku tak berani tanya tentang lelaki itu pada mas penjual bakso.

    Aku menangis sendirian. Jatuh cinta saja kok begini ribetnya. Padahal, susah sekali bagiku untuk jatuh cinta, eh, malah nyasar pada lelaki tak dikenal. Apes. Gemes, tapi menyenangkan. Nyeri, tapi membuat hati nyaman. Oh, siapakah dirimu yang telah menggelitik hatiku? Rasanya aku sudah mengenalmu selamanya. Rasanya aku sudah mencintaimu selamanya.

    Sebulan, dua bulan, tiga bulan, aku melakukan ritual yang sama. Kusisihkan sebagian penghasilan, untuk membeli bakso, sekaligus membeli kemungkinan. Tak ada apa-apa. Rinduku membuncah, terlampiaskan hanya lewat tangisan. Aku memang jatuh cinta, ataukah hanya dibodohi perasaanku saja? Yang jelas, aku tahu apa yang aku inginkan. Lelaki itu jawabannya.

    Ibuku mencak-mencak waktu aku menolak lamaran seorang anak tuan tanah. Awalnya ibuku senang, karena dipikirnya aku sudah punya pacar. Waktu kubilang belum, meledaklah amarahnya. Yah, sudahlah. Toh, anak tuan tanah itu bukan tipeku. Bukan lelaki berwajah oriental yang dengan lembut menyuapi anak-anak. Hei, anak siapakah itu? Anaknya kah? Jleb! Hatiku ngilu. Kok baru kepikiran sekarang? Aduh, bagaimana ini, sepertinya aku jatuh cinta pada orang  yang salah. Tapi cinta ini tak bisa kusingkirkan. Senjataku sekarang, hanyalah doa, yang sebanyak-banyaknya, dan sesering-seringnya, kupanjatkan pada tuhan, agar impianku tentang lelaki itu menjadi kenyataan. Namun, di sudut hatiku, kenyataan bahwa kemungkinan ia telah dimiliki orang, sunggu menggangguku.

    Empat bulan berlalu, rinduku sudah tak terlalu menggebu. Aku hanya ingat pernah jatuh cinta. Namun lama tak bersua, tak membuat harapanku sirna. Ritualku masih berjalan. Beli bakso tiap jam makan siang. Anehnya, penjualnya tak pernah heran, ataupun bertanya apakah aku tak bosan. Demi mengenang rasanya pertama kali jatuh cinta, aku memutuskan untuk makan di sana. Kupesan bakso besar, tanpa mi dan bawang. Es the ku sedang diantarkan waktu aku melihat motor itu lagi, dengan lelaki itu lagi. Kali ini ia mengenakan kaos hijau garis-garis, tetap  tampan seperti yang pernah kuingat. Anak kecil itu masih di boncengan depan. Hanya saja, ada orang lain di boncengan belakang. Seorang wanita berbadan dua, bertubuh mungil, lebih pendek dariku, dengan tampang yang biasa-biasa saja. Tapi kuakui, senyumnya menawan, selembut lelaki yang memboncengnya. Tanpa sadar, kubiarkan mbak pengantar es the melihatku melenggang, meninggalkan bakso yang masih mengepul dan es the yang segar. Aku keluar, berpapasan dengannya, dengan air mata yang berlinang. Ku tatap persawahan di pinggiran warung. Usai sudah. Harapanku, impianku, tak lagi berujung. Hanya doa sia-sia yang menggantung. Aku patah hati. Aku terluka tanpa ada yang melukai. Apalagi, waktu kudengar wanita itu memanggil lelaki-ku dengan sebutan “Yah”. Remuk redam sudah. Tangisku tak lagi bisa kutahan. Dangan jilbab yang sudah kutata dengan cantik, kulap wajahku yang penuh air mata hingga jilbabku belepotan. Bodo amat, aku kan sedang sakit hati.

    Aku hendak melenggang pergi. Lalu aku ingat, dan kembali lagi. Baksoku belum kubayar. Dengan tega, kutinggalkan bakso yang belum kumakan, es the yang tak lagi menggoda iman, dan kembalian yang tak kuambil dari penjual. Hatiku terlalu sakit karena impianku terenggut oleh kebodohan. Cinta apa kalau bahkan indahnya dan sakitnya kutanggung sendirian?

    Sejak hari itu, tak ada lagi acara makan siang dengan bakso. Sebisa mungkin jika ke kecamatan, kuhindari jalanan di depan warung bakso itu. Agak jauh biarlah, yang penting kenangan menyakitkan itu tak lagi kulihat. Bakso cinta, bukan baksonya yang berbentuk hati, tapi di sanalah kutemukan cinta pertama kali.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar