Jumat, 08 Mei 2015

MENGAJAR BAHASA INGGRIS UNTUK ANAK-ANAK DENGAN MENGGUNAKAN PERMAINAN ULAR TANGGA

Halo, kali ini saya ingin berbagi tentang bagaimana asyiknya mengajar sambil bermain.
Mengajar bahasa Inggris kepada anak-anak, usia dasar misalnya, sungguh sangat menyenangkan. Materinya masih mudah, hanya berkisar tentang kosa kata dan sedikit tata bahasa.
Dulu, untuk mengatasi kebosanan saat mengajar, khususnya jika di tempatkan di jam setelah makan siang, saya selalu mencari cara untuk melakukan permainan sambil belajar. Agar anak-anak itu tidak ngantuk, saya nya pun tidak ngantuk.
Memang sih, mengajar sambil bermain itu lebih melelahkan, repot dan agak berisik. Tapi hasilnya sungguh menyenangkan dan kadang memberi prestasi yang diluar dugaan. Memuaskan.

Nah, kali ini saya akan berbagi ketika saya menggunakan permainan ular tangga sebagai media permainan. Awalnya, sudah ada kosa kata yang dipelajari sebelumnya. Permainan ini bisa untuk melakukan pretest, bisa juga untuk evaluasi.
Saya membeli delapan permainan ular tangga untuk bermain delapan kelompok belajar dalam satu kelas. Saya hanya memanfaatkan dadunya. Jadi, opsi bisa diganti hanya dengan membeli dadu saja. Papan ular tangga saya ganti, saya buat sendiri menyesuaikan materi. Di setiap angka setelah naik tangga atau turun ular, selalu ada pertanyaan. Pertanyaan bisa ditulis langsung di papan permainan, atau di tulis di papan tulis sesuai dengan nomor naik dan turunnya.

Anak-anak bermain seperti permainan ular tangga biasa. Akan tetapi, ada satu ketua yang dianggap paling bisa dalam satu kelompok yang tugasnya bermain sekaligus penilai dan pemberi hukuman.
Dalam satu lemparan dadu, anak-anak yang terkena angka naik dan turun wajib menjawab pertanyaan di papan, dengan menggunakan bahasa inggris. Biarkan ketua yang mengawasinya. Dalam hitungan sepuluh, jika pertanyaan tidak terjawab maka akan mendapat satu coretan di jarinya.

Batasi saja permainan hanya beberapa menit. Lalu, guru mengevaluasi hasil pertanyaan yang sudah di mainkan. Boleh dengan menambahi hukuman bagi yang mendapat coretan paling banyak dari tiap kelompok. di suruh menyusun Jumble Word atau Jumble Sentence atau Jumble letters juga bisa.

Tidak harus di kelas, tidak harus menjadi guru, permainan ini juga bisa diterapkan saat belajar kelompok di rumah. Asyik kan? Selamat mencoba^_^

CINTA DAN PENGORBANAN WANITA

Wanita itu hebat. Riset membuktikan, wanita lebih kuat dibandingkan pria. Wanita mampu menyembuhkan diri sendiri setiap bulannya. Wanita memiliki daya tahan tubuh lebih baik dari pria. Wanita sebenarnya memiliki tenaga lebih kuat dari pria. Wanita lebih mampu berkomunikasi dengan baik daripada pria. Wanita juga memiliki kemampuan multi tasking yang tidak dimiliki pria.
Kita, para wanita memang diciptakan Tuhan dengan segala kelebihan itu untuk dititipi umat generasi selanjutnya. Jadi, di tangan kita lah sebenarnya letak kemajuan atau kehancuran bangsa. Karena, kita adalah:

1.    Sumber cinta
Hal utama dan yang paling utama yang mendasari sebuah hubungan adalah cinta. Bagaimana kita akan menjadi hamba Tuhan yang baik jika kita tak pernah mengenal cinta kepada-Nya? Bagaimana anak-anak dan keluarga kita akan baik jika tanpa cinta? Begitulah peran kita. Kasih ibu, kasih wanita, ibarat sebuah perapian di dalam rumah. Menerangi, sekaligus menghangatkan. Tapi ingat, segala sesuatu yang berlebihan itu berbahaya. Perapian yang terlalu besar juga bisa menyebabkan kebakaran. Kasih sayang yang berlebihan juga bisa menjadikan salah asuhan. Lalu, cinta yang seperti apa seharusnya? Cinta yang menginspirasi. Cinta yang ketika disebarkan akan menular. Cinta yang ketika diajarkan, akan menumbuhkan cinta berikutnya. Cinta bukanlah barang yang bisa didapatkan dengan ditukar uang. Cinta juga bukan piutang yang kita harapkan akan mendapat bayaran. Cinta itu gratis. Cinta layaknya Hukum Newton III dalam ilmu fisika: besarnya aksi sebanding dengan reaksi. Besarnya cinta yang kita sebar, sebesar itu pula yang kita dapatkan. Tugas kita lah untuk menyebarkan dan menularkan cinta di sekitar kita.

2.    Sumber ketenteraman
Kasus-kasus korupsi, kesemrawutan politik negara, ada wanita di baliknya. Sekisruh apapun sebuah rumah tangga, jika pihak wanita tetap tenang, rasa-rasanya keadaan akan lebih mudah dikendalikan. Wanita yang tidak menuntut lebih dari kemampuan suami adalah wanita hebat, karena hal itu sungguh sulit dilakukan. Seorang istri, seorang ibu, punya peranan yang super penting untuk menjaga ketenteraman itu. Sangat sulit memang, karena kita harus menekan ego, dan mengulur kesabaran sepanjang-panjangnya. Tapi ingat, itu adalah tabungan masa depan. Dimulai dari hal kecil, misal, menyambut pagi dengan tersenyum, beraktivitas dengan riang, akan menjaga mood seluruh keluarga sepanjang hari. Tersenyum lagi ketika menyambut suami pulang kerja, tanpa berondongan keluhan, tanpa tuntutan macam-macam, insyaallah mampu menghindarkan perselisihan, pertengkaran dan perselingkuhan. Sabar mendengarkan permasalahan anak-anak, agar mereka tak berpindah hati untuk curhat pada hal-hal lain yang lebih memprihatinkan, mampu menghindarkan mereka dari pergaulan yang tidak semestinya.

3.    Sumber pelajaran hidup
Ibu yang bekerja tapi rumahnya tetap terurusi, adalah ibu yang hebat. Salut dari saya untuk para ibu hebat. Karena, bagaimanapun, para ibulah yang dicari anak-anaknya untuk melakukan aktifitas mereka sehari-hari mulai dari bermain hingga belajar. Para ibu juga harus belajar, karena anak-anak kita hidup di zaman yang berbeda dengan masa kanak-kanak kita. Karenanya, sebagai sumber pelajaran hidup, para ibu harus:
•    Mampu mengajarkan makna kehidupan dalam hati seluruh keluarga, terutama anak-anak kita. Dengan mencontohkan bagaimana arti bahagia yang sebenarnya, dengan menyikapi berbagai permasalahan secara bijak, ibu sudah menanamkan pelajaran berharga bagi mereka.
•    Mampu menjawab pertanyaan anak, apapun itu, dengan kapasitas yang pas. Galilah pengetahuan lebih banyak lagi, agar tidak mengecewakan dan mempermalukan diri sendiri. Belajar lagi, banyak membaca, mengaji, tak akan pernah ada ruginya bagi kita. Ambil sumber yang benar, jangan ambil "katanya". Kalau kita tak berkembang, kita akan kalah tergerus zaman. Akuilah dengan bijak jika memang tidak bisa, tak perlu sok tahu tapi malah menyesatkan. Tapi juga jangan setiap kali ditanya jawabannya ”embuh”. Ibu adalah contoh dan guru terbaik bagi anaknya.
•    Sebagai percontohan, kita juga dituntut sempurna. Membuang sampah pada tempatnya, makan sambil duduk, makan dengan tangan kanan, bertutur kata halus, rapi dalam tempat dan penampilan, serta perlakuan kita pada lingkungan sekitar, akan ditiru dan dikembangkan oleh anak kita, bahkan sejak mereka dalam kandungan. Maka berhati-hatilah.
•    Yang lalu biarlah berlalu, yang bisa kita perbaiki mari kita perbaiki.

Karena, menjadi wanita itu menyenangkan. Menjadi ibu itu hebat. Jangan sia-siakan moment menjadi tokoh idola dalam keluarga hanya karena keegoisan semata. Tak perlu pamrih, karena cinta yang kita tanam karena Allah akan dibalas oleh Allah. Kalau hidup kita hanya berdasarkan sekedar untuk menggugurkan tanggung jawab, maka bebas tugaslah kelak yang akan kita dapatkan.
Selamat menjadi ibu yang lebih hebat lagi. Karena kita bisa melakukannya.

BAKSO CINTA (Sebuah Cerpen)

    Awalnya, enggan sekali menuruti adikku yang satu ini. Gadis mahasiswi yang centilnya minta ampun. Ia bersikeras mendandaniku dengan gayanya. Tentu saja rasanya tidak nyaman. Aku yang biasanya tampil seadanya, harus berdandan trendi a la anak muda. Kuingatkan ia dengan kerlingan mataku, bahwa usiaku sudah hampir kepala tiga, sudah tidak pantas bergaya muda. Dengan kerlingan pula ia menanggapi protesku, kata siapa? Ujarnya. Jadilah aku seperti ini sekarang. Dengan jeans yang ketat di bagian mata kaki, mereka menyebutnya pensil, dan kaus longgar, jilbab model anak sekarang yang di lipat di kepala kesana kemari, memang membuat pantulan diriku terlihat beda di cermin. Aku tersenyum. Adikku tersenyum. Sepertinya, dengan aku yang seperti ini, hanya aku yang tahu berapa usiaku. Ah, alangkah pakaian dan dandanan mempengaruhi kepercayaan diri seseorang. Setelah dandan secantik itu, kupikir aku akan di ajak jalan-jalan ke mall. Adikku sendiri dandanannya tak kalah oke. Pastinya, tetap terlihat lebih muda dariku. Ternyata, aku hanya diajak makan bakso. Malas banget kan? Sudah dandan cantik, hanya untuk makan bakso di seberang jalan besar? Ogah.

    Setelah dirayu lama, akhirnya kau luluh juga. Meski lesu, kutemani ia makan bakso di tempat biasa. Bakso tenis yang super enak dan menyenangkan. Biasanya, aku hanya beli bungkus kumakan di rumah. Baru kali ini aku menikmatinya di tempatnya. Adikku masih mencandaiku karena aku masih ngambek dengan dandanan seribet ini. Ia bilang, tidak ada salahnya tampil cantik, siapa tahu ketemu jodoh di warung bakso ini. Aku hanya mendengus kesal, menyadari bahwa mungkin ia benar.

    Sedang asyik makan, datang pembeli naik sepeda motor, seorang lelaki, membonceng anak kecil di depan. Entah mengapa, mataku tak bisa lepas dari orang itu. Wajahnya terlihat bersinar di mataku. Lelaki itu tidak tampan, wajahnya oriental, dengan cambang tipis umur sehari, berupa bintik kecil kehitaman di sekitar dagu dan pipi. Anak kecil itu juga berwajah oriental. Ia menengok ke arahku. Meski aku tahu ia tidak langsung melihatku, namun aku malu karena dari tadi terus memperhatikannya. Lelaki itu mengenakan kaos jersey warna biru. Celana kain hitam, yang hanya dipakai para pekerja kantoran di daerahku, karena lelaki biasa umumnya mengenakan jeans, celana pendek, atau sarung. Bahasanya jawa halus. Wajah oriental berbahasa jawa halus? Oh, alangkah sempurna. Bahkan kepada anak kecil itu, bahasanya tetap bahasa jawa halus. Aku terkesima.

    Adikku menyolek sikuku. Lihat apa? Tanyanya. Aku hanya tersenyum, memalingkan wajah dari lelaki itu. Tapi, tak bisa lama-lama. Kepalaku lagi-lagi menengok ke arahnya. Ia berdiri di luar, menyuapi anak kecil tadi yang berlari-larian, berceloteh sambil makan, tentang burung kutilang yang bergantungan di kandang, di sisi kiri dan kanan warung. Lagi-lagi, aku terkesima. Caranya menyuapi, caranya tersenyum ada anak kecil itu, entah mengapa membuat hatiku berdesir. Sepertinya, aku jatuh cinta, pada pandangan pertama. Aku malu.
Aku tidak mengenal lelaki itu. Pun baru sekali itu aku melihatnya. Tapi wajahnya, tak bisa kulepas dari pikiranku. Sampai di rumah, di tempat kerja, hanya lelaki itu yang ada di benakku. Sepertinya, aku benar-benar jatuh cinta. Kuingat kembali, mungkin ia benar pekerja kantoran. Kemarin hari minggu, siang hari yang santai untuk bercengkerama sambil jajan bakso. Nggak nyambung ya? Biarlah, yang jelas hari minggu yang akan datang, aku akan dandan cantik lagi, dan makan bakso di sana lagi. Siapa tahu, ada lelaki itu lagi.
Aku sudah tak sabar menunggu hari ini. Gemas karena pagi tak juga beranjak siang hari. Bakso itu baru buka jam sepuluh. Minggu kemarin aku makan di sana jam dua siang. Duh, lama sekali sih menunggu jam dua siang.

    Setelah menunggu lama, aku malah ketiduran. Gagal sudah rencana bertemu lelaki impian. Seharian aku kesal. Segala yang kukerjakan tak ada yang benar. Seminggu kemudian, wajahnya menghiasi tidurku tiap malam, memupuk cinta yang semakin lama semakin membesar, namun hanya bisa kuendam.
Aku bukan tipe gadis genit. Lagi pula usiaku sudah tak layak bergenit-genit. Kuputuskan, tiap hari setelah dhuhur aku akan beli bakso. Dibungkus, hanya sekedar menunggu kemungkinan bertemu dengan lelaki itu lagi. Dulu ia tidak mengenakan helm, berarti kemungkinan ia hanya berasal dari daerah sekitar sini, entah bagian desa sebelah mana.

    Senin, Selasa, Rabu, aku beli bakso dengan agak sia-sia. Tak apa, perjuangan tak ada batasnya, batinku. Kamis, lagi-lagi aku menelan kecewa. Jum’at, sungguh hari yang tak kusangka-sangka. Lelaki itu datang lagi. Kali ini ia sendiri. Benar dugaanku. Ia mengenakan seragam, sepertinya pegawai pemerintahan. Di lengan seragamnya banyak tempelan. Jaket kulitnya sungguh membuat ia semakin rupawan. Kupikir ia akan berlama-lama, ternyata sama denganku, ia hanya membeli untuk dibungkus. Tiga bungkus, kudengar pesanannya. Oh, dia baik hati sekali, bawa oleh-oleh segala, pikirku. Ia berdiri memesan, dekat sekali denganku. Aroma parfumnya, campuran manis dan segar, plus keringat yang agak asam, menghibur hidungku yang rindu. Aku deg-degan berdiri sedekat ini. Ia mengobrol santai dengan mas-mas penjual bakso. Berarti, penjualnya kenal dengan lelaki itu. Tapi, bahkan besok dan besoknya lagi, aku tak berani tanya tentang lelaki itu pada mas penjual bakso.

    Aku menangis sendirian. Jatuh cinta saja kok begini ribetnya. Padahal, susah sekali bagiku untuk jatuh cinta, eh, malah nyasar pada lelaki tak dikenal. Apes. Gemes, tapi menyenangkan. Nyeri, tapi membuat hati nyaman. Oh, siapakah dirimu yang telah menggelitik hatiku? Rasanya aku sudah mengenalmu selamanya. Rasanya aku sudah mencintaimu selamanya.

    Sebulan, dua bulan, tiga bulan, aku melakukan ritual yang sama. Kusisihkan sebagian penghasilan, untuk membeli bakso, sekaligus membeli kemungkinan. Tak ada apa-apa. Rinduku membuncah, terlampiaskan hanya lewat tangisan. Aku memang jatuh cinta, ataukah hanya dibodohi perasaanku saja? Yang jelas, aku tahu apa yang aku inginkan. Lelaki itu jawabannya.

    Ibuku mencak-mencak waktu aku menolak lamaran seorang anak tuan tanah. Awalnya ibuku senang, karena dipikirnya aku sudah punya pacar. Waktu kubilang belum, meledaklah amarahnya. Yah, sudahlah. Toh, anak tuan tanah itu bukan tipeku. Bukan lelaki berwajah oriental yang dengan lembut menyuapi anak-anak. Hei, anak siapakah itu? Anaknya kah? Jleb! Hatiku ngilu. Kok baru kepikiran sekarang? Aduh, bagaimana ini, sepertinya aku jatuh cinta pada orang  yang salah. Tapi cinta ini tak bisa kusingkirkan. Senjataku sekarang, hanyalah doa, yang sebanyak-banyaknya, dan sesering-seringnya, kupanjatkan pada tuhan, agar impianku tentang lelaki itu menjadi kenyataan. Namun, di sudut hatiku, kenyataan bahwa kemungkinan ia telah dimiliki orang, sunggu menggangguku.

    Empat bulan berlalu, rinduku sudah tak terlalu menggebu. Aku hanya ingat pernah jatuh cinta. Namun lama tak bersua, tak membuat harapanku sirna. Ritualku masih berjalan. Beli bakso tiap jam makan siang. Anehnya, penjualnya tak pernah heran, ataupun bertanya apakah aku tak bosan. Demi mengenang rasanya pertama kali jatuh cinta, aku memutuskan untuk makan di sana. Kupesan bakso besar, tanpa mi dan bawang. Es the ku sedang diantarkan waktu aku melihat motor itu lagi, dengan lelaki itu lagi. Kali ini ia mengenakan kaos hijau garis-garis, tetap  tampan seperti yang pernah kuingat. Anak kecil itu masih di boncengan depan. Hanya saja, ada orang lain di boncengan belakang. Seorang wanita berbadan dua, bertubuh mungil, lebih pendek dariku, dengan tampang yang biasa-biasa saja. Tapi kuakui, senyumnya menawan, selembut lelaki yang memboncengnya. Tanpa sadar, kubiarkan mbak pengantar es the melihatku melenggang, meninggalkan bakso yang masih mengepul dan es the yang segar. Aku keluar, berpapasan dengannya, dengan air mata yang berlinang. Ku tatap persawahan di pinggiran warung. Usai sudah. Harapanku, impianku, tak lagi berujung. Hanya doa sia-sia yang menggantung. Aku patah hati. Aku terluka tanpa ada yang melukai. Apalagi, waktu kudengar wanita itu memanggil lelaki-ku dengan sebutan “Yah”. Remuk redam sudah. Tangisku tak lagi bisa kutahan. Dangan jilbab yang sudah kutata dengan cantik, kulap wajahku yang penuh air mata hingga jilbabku belepotan. Bodo amat, aku kan sedang sakit hati.

    Aku hendak melenggang pergi. Lalu aku ingat, dan kembali lagi. Baksoku belum kubayar. Dengan tega, kutinggalkan bakso yang belum kumakan, es the yang tak lagi menggoda iman, dan kembalian yang tak kuambil dari penjual. Hatiku terlalu sakit karena impianku terenggut oleh kebodohan. Cinta apa kalau bahkan indahnya dan sakitnya kutanggung sendirian?

    Sejak hari itu, tak ada lagi acara makan siang dengan bakso. Sebisa mungkin jika ke kecamatan, kuhindari jalanan di depan warung bakso itu. Agak jauh biarlah, yang penting kenangan menyakitkan itu tak lagi kulihat. Bakso cinta, bukan baksonya yang berbentuk hati, tapi di sanalah kutemukan cinta pertama kali.