Senin, 22 Juni 2015

Malu Yang Tidak Pada Tempatnya

Sekedar ingin ikut mengomentari kegiatan ujian nasional, hasilnya dan kisah selanjutnya. Sudah agak telat sih ya, idenya memang sudah lama, tapi tidak pernah sempat menuliskannya.

Sebagai seorang siswa, kalian semua tahu betapa beratnya menghadapi yang namanya UN itu. Sebagai guru, kalian semua tahu betapa sulit mengkondisikan nilai harian dan nilai lain dengan kondisi kesiapan siswa dalam menghadapi Ujian Nasional.

Lalu, mengapa di juduli tentang malu? Inilah masalah yang sebenarnya terjadi di lingkungan saya, dan beberapa lingkungan lain yang menganggap UN itu pasti akan terlewati dengan sendirinya. Maksud saya, pernahkah kalian melihat para siswa yang santai-santai saja menghadapi UN sementara gurunya pontang-panting mengadakan jam tambahan dan sebagainya?

Terus, mengapa kok malunya tidak pada tempatnya? Kita telusuri satu per satu yuk. Pertama, setiap propinsi dituntut untuk membanggakan hasil lulusannya. Gubernur akan menekan para bupati dan walikota untuk meningkatkan hasil nilai UN di provinsi tempatnya berkuasa, tanpa peduli bagaimana kondisi masing-masing daerah itu. Rasanya pasti akan sangat malu sekali jika kalah saing dengan provinsi lain. Kedua, setelah mendapat tekanan dari gubernur, para bupati dan walikota akan merasa malu pula jika kabupaten atau kotamadyanya mendapatkan nilai rata-rata nilai UN yang mengecewakan. Mau dikemanakan muka mereka? Iya kan? Akhirnya, mereka pun menekan para kepala dinas pendidikan di kabupaten dan kotamadya masing-masing untuk mulai menaikkan standar nilai rata-rata kelulusan. Ketiga, setelah mendapatkan tekanan dari kepala daerah mereka, para kepala dinas itu akan mulai memanggil para kepala sekolah untuk bagaimanapun caranya harus mampu menaikkan hasil nilai UN. Kepala sekolah pun akan menjalankan amanat dengan sebaik-baiknya. Ada yang menanggapinya dengan serius dengan meningkatkan kemampuan siswa, sampai stres pun tak apa, jika kebetulan sekolahnya punya masukan siswa yang bagus. Atau, ada yang santai saja dengan meminta para guru mengutak-atik ‘sedikit’ nilai para siswa agar ketika dirata-rata hasilnya tidak terlalu menjengkelkan.

Bayangkan. Para guru akan berusaha mati-matian, untuk memotivasi siswa agar giat belajar, untuk memanipulasi nilai, dan untuk merasakan sakit hati karena bahkan siswa yang ikut ujian tidak peduli sama sekali. Bayangkan lagi. Ada guru yang sampai menangis saking dongkolnya, karena harus menyamakan nilai siswa yang memang pintar, baik hati dan rajin, dengan siswa yang nilainya tidak cukup ditarik kemana-mana, remidi tidak hadir, ujian praktek mangkir, sekolah sekenanya.

Lalu, jika harapan gagal, para guru hanya bisa mengelus dada. Siswanya mah tetap aja hura-hura. Berkonvoi, corat-coret, pesta. Kepala sekolah akan mengurut kepala, karena sebentar lagi pasti dimarahi oleh kadin mereka. Kadin pun mumet karena tak akan bisa menahan malu dimarahi bupati atau walikota. Bupati dan walikota runtuh sudah harga diri mereka karena akan dipermalukan di depan para kepala daerah lain oleh gubernur mereka.

Semua ini karena malu yang tidak pada tempatnya. Gubernur yang seharusnya tak perlu malu jika memang sdmnya tak memadai untuk mencapai lulusan terbaik, bupati dan walikota yang seharusnya tak perlu malu jika memang tak mengerti keadaan daerahnya yang sesungguhnya, kadin yang tidak pernah menginjakkan kakinya di sekolahan tapi sok tahu dengan tata cara mengatur sekolahan pun seharusnya malunya karena ketidaktahuannya. Kepala sekolah pun seharusnya tak perlu berkecil hati jika hanya demi tembusnya proposal dan naiknya ajang cari muka pada atasan. Guru? Jelas malu bukan kepalang, karena pasti akan disalahkan. Tak becus mengajar lah, tak bisa mengatasi siswa bermasalah lah. Oke, fine, mungkin ada beberapa yang begitu, tapi tak semuanya. Dan kami yang bersungguh-sungguh, merasa malu dan tak berdaya dengan semua system tak tahu malu itu. Yang lebih tak tahu malu lagi, adalah para siswa yang seharusnya belajar malah menyia-nyiakan waktu untuk hal-hal tak berguna.

Tulisan ini mungkin menyinggung beberapa pihak. Maafkan, tapi ini lah kenyataan pahit dunia pendidikan kita kawan-kawan. Hal yang seharusnya tak perlu dimalukan malah malu, hal yang seharusnya memalukan (ketidakpedulian, ketidakbecusan) malah diabaikan. Itulah sebabnya kita selalu gagal, karena kita mencetak generasi secara instan, hanya demi menutupi malu. Kenapa tak kita biarkan saja para siswa itu menghadapi hidup yang sesungguhnya dengan satu kata gagal dalam hidup mereka? Kasihan? Kasihan mana dibanding membiarkan mereka mengetahui bahwa mereka akan baik-baik saja meski tak pernah sekolah, tak ikut ulangan dan sebagainya. Kasihan mana dibanding dengan membiarkan mereka berpijak pada euphoria kelulusan yang sebenarnya bukan milik mereka? Kasihan mana dibanding membiarkan para guru kehilangan kepercayaan dan semangat dalam pendidikan karena tak bisa menerapkan norma mengajar yang sesungguhnya? Guru hanya akan dianggap sebagai mafia nilai, tak lagi mendapat kehormatan dan kebanggaan dari para siswa. Mengenaskan. Karena siswa tak perlu lagi khawatir nilai mereka anjlok karena tingkah mereka.

Saya setuju nilai UN tidak dijadikan patokan kelulusan. Lulus semua, boleh. Tapi, sebagai guru, suara hati saya menjeritkan: tolong biarkan anak-anak kami mendapatkan sesuai kemampuan mereka. Agar para kepala sekolah melek bahwa sdm di sekolah mereka memang tak bisa dipaksakan, harus ada tindakan pengembangan karakter dan pengajaran. Agar para kadin tak melulu hanya berurusan dengan proposal dan administrasi remeh yang ujung-ujungnya uang, harus ada tindakan pengembangan tenaga kependidikan yang professional, bukan seminar remeh-temeh yang hanya untuk menghabiskan anggaran. Dan, agar para kepala daerah tahu, daerahnya memiliki kemampuan yang berbeda dengan daerah lain, harus ada pengembangan kegiatan untuk menanggulangi siswa dengan prestasi pas-pasan. Juga, agar para gubernur tahu bahwa beberapa daerah membutuhkan anggaran lebih untuk kegiatan pengembangan, bukan hanya untuk fasilitas gedung dan segala rupa yang mungkin agak tidak berguna di beberapa sekolahan.

UN tak mengubah garis nasib. Tapi kejujuran yang terkhianati sejak dini, hanya akan menciptakan generasi yang lebih lihai dalam korupsi dan manipulasi. Ini hanyalah suara hati yang sangat lemah, dari seorang guru yang mati-matian ingin siswanya berprestasi, tapi terhalang system yang sungguh sangat menyebalkan. Jujur, jujur, jujur. Susah sekali ya mendapatkannya di zaman ini?

Kisah Per–ngepet–an Modern Di Dunia

Ngepet biasanya didefinisikan sebagai hewan siluman, penjelmaan dari seseorang yang melakukan ritual pesugihan. Jadi, anggap saja, istilah ngepet sama dengan pesugihan. Ada yang berbentuk babi, ada yang buaya, ada yang ayam, dan sebagainya. Saya juga belum pernah lihat^_^.

Nah, tulisan ini tidak bermaksud untuk menceritakan tentang berbagai kisah pesugihan di dunia dalam berbagai versinya. Akan tetapi, saya ingin membahas per – ngepet – an itu sendiri (bahasa apa sih?). Ngepet biasanya berhubungan dengan makhluk halus untuk mendapatkan harta lebih. Karena biasanya menakutkan, maka ritual ngepet pasti dilakukan dengan diam-diam, dan hanya bisa diketahui oleh sebangsa pelaku perngepetan yang sama.

Di zaman modern ini, masih ada beberapa pelaku perngepetan yang masih menggunakan ritual tradisional dengan menggunakan jasa makhluk ghaib yang kebanyakan tuntutan dan sangat tidak praktis pastinya. Padahal, gejala perngepetan yang mulai umum di dunia ini adalah, pesugihan tak kasat mata, tapi legal, dan insyaallah halal, yang juga seringnya dilakukan diam-diam, dari rumah saja tapi bisa kaya raya, dan bisa jadi hanya diketahui oleh sesama pelaku ritual perngepetan modern. Tidak lagi menggunakan makhluk halus sebagai medianya, tetapi bermodal jaringan internet dan pulsa. Bukan lagi bernama hewan-ngepet, tapi sudah berubah jadi adsense-ngepet, google-ngepet, youtube-ngepet, kliksaya-ngepet, allshop-ngepet, dropship-ngepet, dan lain sebagainya yang mungkin masih banyak sekali yang saya tak tahu namanya.

Mungkin kaidahnya berbeda dengan perngepetan tradisional, tapi tetap saja menambah penghasilan dengan media ghoib (maksa^_^). Asal caranya tidak merugikan akun orang lain, bagi yang blogger tidak mentah-mentah copy paste, pastinya halal yang dihasilkan. Tidak lagi merasa ketakutan setiap kali melihat tetangga sedang ronda malam.

Meskipun begitu, beberapa pelakunya masih mendapat tuduhan melakukan ritual ngepet tradisional. Ada yang digrebek karena disangka piara tuyul, ada pula yang disangka teroris karena tidak pernah keluar kontrakan kecuali untuk makan atau yang penting lainnya. Untungnya, perngepetan modern sudah menjamur sampai ke desa-desa, sehingga jika digerebek pun akan lebih mudah menjelaskan pada penggrebeknya. Lain kalau beberapa tahun yang lalu, penjelasannya harus panjaaaang dan lebaaarrrrr dengan istilah yang dimudahkan. Ah, aku suka masyarakatku yang serba ingin tahu, melindungi dari tindakan yang merugikan^_^.

Salam untuk para blogger dan para youtuber, juga para pebisnis online lainnya. Semoga kalian sukses semua. Amin….