Rabu, 21 Oktober 2015

My Trip My Refreshing – Pantai Kuripan Subah Batang

Untuk ukuran saya yang selalu menderita setiap kali melakukan perjalanan, maka tahun ini adalah tahun yang kebanyakan piknik bagi saya. Setelah sebelumnya jalan-jalan ke Pemandian Air Panas Plantungan Kendal, hari ini tepat libur satu Muharrom saya mengajak keluarga untuk melihat pantai. Demi kenyamanan, saya meminta dipilihkan pantai yang terdekat dengan rumah. Kalau ke pantai Cahaya yang di Weleri rasanya terlalu jauh. Lalu, suami pun mengusulkan untuk mengunjungi pantai di sekitar wilayah Banyuputih, Batang. 




Awalnya, kami bertolak untuk melihat pantai Celong. Sudah banyak yang update foto-foto di sana di bbm dan facebook teman-teman kami. Aku penasaran. Toh, masih bisa dijangkau tanpa mobil yang akan membuatku mabuk kepayang^_^. Nah, sebelum menceritakan tentang perjalanan ke sana, ada satu pertanyaan untuk kalian semua. Bagi kalian yang bukan berasal dari sekitar pantura, ketika melewati alas roban di sekitar Kabupaten Batang, Jalur Banyuputih-Subah-Tulis, apa yang kalian pikirkan setiap kali melewati jalur pantura berhutan itu? Deretan pohon jati di mana-mana? Apa yang ada di balik hutan itu?

Kalau dari rumahku, hutan jati itu justru terlihat sebagai perbukitan yang meranggas, kusam dan panas. Tidak hijau sama sekali. Karena dari kejauhan pun warnanya terlihat coklat. Ternyata, setelah menyeberang dari terminal Banyuputih, berbelok ke kiri melewati hutan jati itu, ada pemandangan menakjubkan yang menunggu di dalamnya. Itulah awal rute menuju pantai celong dari rumahku. Melewati jalanan kampong yang tidak terlalu lebar, diapit pepohonan jati di kanan kiri, lumayan teduh memang. Tapi saat itu musim panas. Tak hanya di luar jawa, bahkan di hutan itu bagian bawahnya juga dibakar entah demi alasan apa. Untung tidak merambat ke mana-mana. Hanya jejak abu kehitaman yang masih ada di pelataran hutan. Hawa agak panas, dedaunan meranggas, tapi angin bertiup semilir dan lembut. Bahkan hanya dengan melewatinya saja, pikiran langsung segar. Ditambah lagi, aspalnya lumayan bagus. Tidak menyiksa perutku yang menginjak kandungan tujuh bulan.

Saya pikir hanya akan melewati deretan jati dan beberapa kampong. Lebih ke utara lagi, justru lebih menakjubkan. Jalanan semakin berkelok dan menanjak serta menurun. Hutan jati digantikan dengan deretan pohon karet yang condong seolah berebut sinar matahari. Teduh, rimbun, segar. Ada beberapa hiasan kotak lebah madu di lantai hutan. Tak ada yang menjaga, entah milik siapa. Toh, siapa pula yang berani mengambilnya kan? ^_^
Jajaran pepohonan itu mengingatkanku saat perjalanan ke Linggo Asri di Kabupaten Pekalongan. Mungkin kalau musim sejuk hawanya lebih menakjubkan. Semakin ke utara, jalanan semakin tidak rata. Aspal bergelombang  dan bolong di mana-mana. Untuk menuju ke pantai celong, harus menyeberang rel kereta tanpa palang pintu. Cukup berbahaya. Di situ kelemahannya. Setelah sampai di sekitar pantai, yang kami temukan hanyalah pemukiman nelayan. Tak ada pemandangan pantai. Suami bilang, memang begitulah pantai celong. Ada spot batu karang yang menjorok ke tengah laut untuk memancing. Selebihnya, ada TPI yang super amis, dan deretan rumah penduduk. Kami ingin pantai yang berpasir luas.
Akhirnya, suami pun memutuskan untuk pindah tempat. Tadi di perjalanan, suami sempat menunjuk kea rah pantai sebelah barat dari celong. Namanya pantai Kuripan. Saya pun setuju untuk putar haluan. Toh melewati deretan pepohonan yang menyegarkan lagi tak ada salahnya. Tapi jalanannya itu lho, semakin parah^_^. Dari arah pantai celong, belok ke gerbang desa Kemiri Timur. Banyak pepohonan besar yang kesannya magis di sepanjang perjalanan. Sepi, hanya bertemu beberapa pasukan sepeda yang berjalan pelan. Ada sungai yang hampir mengering di bawah sana. Dengan batu-batu besar berlumut dan air yang keruh berbuih. Maklum, kemarau panjang. 

Lagi-lagi, kami harus menyeberangi beberapa baris rel kereta. Kali ini ada penjaganya, meski tetap saja tanpa palang pintu. Ada pungutan dua ribu rupiah untuk menyeberang ke sana. Kami  pun akhirnya sampai di pantai berpasir coklat yang lumayan menakjubkan. Ada beberapa perahu nelayan yang berlalu lalang. Lautnya berwarna coklat, pasirnya coklat kehitaman, khas pantai utara. Tidak terlalu menakjubkan memang. Tapi debur ombak itu entah mengapa sungguh mendamaikan hati. Panas yang menyengat pun tak lagi terasa. Suami dan anakku bermain air. Aku duduk saja menikmati bekal yang kubawa, berpanas-panas di pasir pantai sambil melihati kepiting kecil yang sedang memelintir pasir. Satu gerakan saja, kepiting itu akan langsung masuk kembali ke liangnya.

Untungnya lagi, saat itu ada grup angklung yang sepertinya sedang latihan sekaligus konser di pantai. Lumayan, hiburan. Toilet umumnya juga lumayan bersih. Ada beberapa warung makan di sana. Tapi tak terlalu banyak seperti di pantai yang lebih terkenal lainnya. Tempatnya masih alami dengan semak belukar di mana-mana. Hanya satu kekurangannya, akses yang agak susah dan sampah di mana-mana. Pemandangan paling menakjubkan di sana bagi saya adalah, ketika ada sekawanan kerbau berjumlah puluhan sedang digiring di tepi pantai. awesome ^_^.

Rabu, 14 Oktober 2015

My Trip My Refreshing – Pemandian Air Panas Plantungan Kendal Jawa Tengah

Inginnya sih menulisnya sebagai My Trip My Adventure seperti yang sedang trending saat ini. Tapi saya bukanlah penggemar perjalanan. Saya hanya bepergian jika memang harus atau jika sudah sangat ingin. Semua itu lebih ke karena factor mabuk darat yang selalu menghantui saya setiap kali bepergian. Jadi, kali ini saya ingin bercerita tentang dua tempat yang saya kunjungi akhir-akhir ini, lebih ke karena dekat dengan tempat tinggal saya, jadi cukup menggunakan sepeda motor sebagai transportasinya.

Tempat yang pertama adalah pemandian air panas belerang di daerah Kendal Jawa Tengah yang berbatasan dengan Kabupaten Batang. Dari rumah saya jaraknya hanya sekitar sepuluh kilometer. Melewati jalur Sukorejo-Jogjakarta, dengan pemandangan sekitar yang menakjubkan. Jalanannya memang agak mengerikan untuk para pemula. Tapi aspalnya sudah bagus, dank arena jalur ramai, maka tidak terlalu kentara mengerikannya. Mengerikan yang saya maksud adalah jalanan yang naik turun dan banyak kelokan tajam. Tapi, melewati rindangnya hutan di sekeliling jalan sungguh menyebarkan. Belum sampai di tempat tujuan saja otak sudah segar.

Hanya saja, nikmat dan segarnya jalanan itu harus dirusak oleh aroma kotoran ayam di beberapa titik jalur, di sekitar dukuh Gandu Kecamatan Tersono, Batang, dan satu titik setelahnya, ada deretan kandang ayam yang dipagari tembok untuk keamanan (dan samaran) yang aromanya tetap tak bisa disembunyikan. Selain deretan kandang ayam itu, semuanya menakjubkan.

Ada satu tempat saat hampir sampai di tujuan, di mana tempatnya mirip dengan jembatan Sukarno Hatta di Malang. Deretan rumah yang memenuhi bukit terpampang indah dari atas jalan yang berpagar seperti jembatan. Andai saat itu tidak terlalu sore, dan tidak sedang mengejar petunjuk jalan yang sudah ngebut di depan, saya pasti akan turun dan berfoto terlebih dahulu untuk kenang-kenangan. 

Sebentar saja dari pemandangan indah itu, sudah berbelok ke kiri, melewati jalan setapak dengan pinggiran pohon-pohon besar, dengan jalanan yang tak kalah ekstrimnya. Ekstrim ini menurutku lho, karena saya terbiasa dengan jalanan datar^_^. Setelah itu, untuk menuju ke tempat pemandiannya, masih harus melewati jalanan batako sempit yang menurun dan berkelok tajam.

Sampai di sana, saya pikir hawanya akan sesejuk di pemandian Gucci Tegal. Tapi karena saya ke sana saat musim panas, udara pun masih hangat. Tempatnya juga tak seindah Gucci. Hanya ada satu kolam kecil untuk para perempuan, dan satu kolam kecil untuk para laki-laki. Kolam yang sepertinya aliran airnya tidak lancar, karena warnanya keruh dan banyak kotoran. Memang sih, kalau air belerang akan seperti itu, tapi sepertinya kalau dibuat lebih mengalir akan semakin menyenangkan. Kalau seperti itu kesannya jadi menjijikkan.


Air belerang yang di kolam sangat panas. Jadi harus membiasakan diri dengan merendam kaki dulu. Saya sendiri hanya berani sebatas kaki, karena ya itu tadi, pemandangan air kolamnya tidak meyakinkan. Saya lebih memilih untuk mandi di pancuran di tempat bilas perempuan. dan hanya satu itu pancuran air hangatnya.

Andai itu bukan jalan lintas kota, mungkin tempat wisata itu juga tak akan berkembang, karena rasa kepemilikan pemerintah sangatlah kurang. Tiket masuk yang murah mungkin dijadikan alasan. Untungnya, tempat itu punya beberapa kandang hewan berisi monyet dan landak, yang menghibur anak-anak yang kami ajak.